Tales from Papua: Juliet Giovanni Kossay
“Kita Orang Papua tidak semuanya pengacau. Tidak semua suka
bermabuk-mabukan dan kita tidak bodoh,” itu kata-kata yang diucapkan Juliet
Giovanni Kosay, ketika aku bertanya tentang apa yang ia ingin sampaikan ke
masyarakat Yogyakarta tentang Orang Papua. Juliet Giovanni Kosay, dengan
panggilan akrab Fani, adalah seorang perempuan berusia 21 satu tahun dan
berasal dari Wamena, Papua. Fani bercerita
bahwa sejak ia kecil hingga SMA, Fani tidak pernah berkesempatan untuk sekolah
diluar Papua. Pada tahun 2014, kakak sepupu Fani yang bersekolah di Yogyakarta,
mendorong Fani untuk mencoba mendaftar ke universitas di Yogyakarta. Mendengar
cerita kakak sepupunya bahwa Yogyakarta merupakan kota yang ramah untuk pelajar
dan biaya hidup yang terjangkau murah, Fani memutuskan untuk melanjutkan
studinya di Yogyakarta
Fani
sebenarnya tidak memiliki alasan pribadi mengapa ia memilih Yogyakarta sebagai
tempat untuk perkuliahannya. Fani juga tidak memiliki gambaran yang jelas untuk
studinya. Maka dari itu, ketika ia diterima di Universitas Kristen Duta Wacana
dengan jurusan Bioteknologi, ia langsung bersemangat dan menerima tawaran
tersebut. Selama 4 tahun belajar di UKDW
Fani belum pernah kembali ke Wamena, “Aku mau sukses dulu dan menyelesaikan
pendidikanku disini sebelum balik ke Wamena,” ucap Fani.
Fani juga bercerita bahwa ia
tidak memiliki kesulitan dalam beradaptasi dengan lingkungan belajar di
Yogyakarta. Kondisi di Wamena dimana banyak transmigran dari Jawa, sudah
memperkenalkan Fani dengan budaya Jawa sehingga ia bisa cepat beradaptasi. Fani
juga menuturkan bahwa ia adalah seorang yang easy going dan percaya diri dalam berteman sehingga mempermudah
adaptasi di Yogyakarta. Namun, Fani juga mengingatkan bahwa hal terpenting
dalam proses beradaptasi adalah dengan membuka diri untuk hal-hal baru dan
jangan sampai terikat dengan idealisme atau budaya sendiri.
Walaupun Fani tidak merasa ia
mengalami proses adaptasi yang menyulitkan, terkadang ia tetap merasakan
perbedaan treatment sebagai Orang
Papua. Tidak jarang Fani tiba-tiba ditanya oleh strangers tentang asal usulnya, bagaimana kehidupannya di
Yogyakarta, dsb. Menurut Fani hal tersebut sangatlah aneh, karena di Papua
tidaklah umum untuk melayangkan pertanyaan yang bersifat cukup pribadi ke orang
yang tidak dikenal. Pada awalnya Fani cukup terganggu, karena mulai dari satpam
hingga orang-orang dilingkungan kost nya sering sekali bertanya-tanya
kepadanya. Tapi setelah berproses dan tinggal selama 4 tahun di Yogyakarta,
akhirnya Fani menganggap hal tersebut sebagai suatu hal yang biasa.
Ketika
Fani menceritakan pengalamannya tersebut, aku sempat tertegun dan berfikir
mengapa aku tidak mendapatkan treatment yang
sama dengan Fani? Aku menyadari bahwa ada racial
profiling yang diimplementasikan terhadap Orang Papua. Hal tersebut
sangatlah tidak adil, hanya karena Orang Papua memiliki tampilan fisik yang
berbeda apakah mereka pantas untuk diperlakukan berbeda? Racial profiling juga berlanjut pada diskriminasi, dan stigmatisasi
terhadap Orang Papua. Fani menceritakan pengalamannya terhadap diskriminasi dan
stigmatisasi Papua di Yogyakarta. Fani terkadang merasa terkucilkan ketika
teman-teman di lingkungan kampusnya berbicara bahasa Jawa. Disini terlihat
bahwa secara tidak langsung ketika teman-teman Fani berbicara dengan bahasa
Jawa, mereka mengeksklusifkan diri mereka sendiri. Fani sendiri menuturkan
karena ia tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, Fani merasa insecure dan ada ketakutan bahwa
sebenarnya ialah yang sedang dibicarakan.
Hal
tersebut sebenarnya merupakan kekhawatiran yang berdasar, melihat bahwa ada
stigmatisasi terhadap Orang Papua. Fani pada akhirnya meminta teman-temannya
untuk berbicara dalam Bahasa Indonesia, mengingat bahwa mahasiswa UKDW tidak
hanya berasal dari Jawa saja. Fani juga mempelajari Bahasa Jawa untuk
menghormati teman-temannya yang pada umumnya menggunakan Bahasa Jawa.
Fani
juga menceritakan berbagai stigma yang dilekatkan terhadap Orang Papua di
Yogyakarta. Salah satu contohnya adalah stigma bahwa Orang Papua adalah orang
yang bodoh. Fani menceritakan ketika ada tugas presentasi banyak mahasiswa yang
tidak mau sekelompok dengan mahasiswa yang berasal dari timur, atau secara
spesifik Papua. Banyak yang merasa sekelompok dengan Orang Papua merepotkan,
karena kemampuan mereka dianggap lebih rendah. “Padahal kami juga mampu dan
bisa mengerjakan tugas sebaik mereka,” ujar Fani.
Selain
itu stigma ada stigma bahwa Orang Papua adalah pengacau. Fani menceritakan
bahwa banyak Orang Papua yang dicap pengacau, suka bermabuk-mabukkan, kasar,
pemarah dan hal negatif lainnya. Aku sendiri melihat fenomena stigmatisasi
tersebut dengan mata kepalaku sendiri. Tidak jarang teman-temanku sering complaint atau mengujarkan rasa
ketidaksukaannya terhadap Orang Papua denga mengkaitkan stigma pengacau
terhadap mereka. Padahal bisa dibilang hanya segelintir Orang Papua yang sesuai
dengan penggambaran orang-orang.
Stigma pengacau tersebut
membuat Fani mengalami penolakan sekitar dua kali saat ia mencari kost. “Aduh,
maaf Mbak disini kami tidak menerima Orang Papua, Orang Papua tuh suka minum
dan membuat keributan,” perkataan tersebut berasal dari seorang penjaga kost
putri ketika Fani menanyakan kamar kosong. Bahkan ketika Fani mencari kost di
daerah lainnya, ia juga mengalami penolakan yang diperintahkan oleh ketua RT
lingkungan tersebut. “Maaf mbak, tapi ketua RT menghimbau untuk tidak menerima Orang
Papua di kost”. Tentu saja Fani sangat kecewa. Ia tidak habis pikir kenapa satu
perbuatan buruk yang dilakukan oleh segelintir Orang Papua bisa menghancurkan
image seluruh Orang Papua.
Fani
juga menceritakan salah satu kebiasaan Orang Papua yang menurutnya tidak
diterima begitu baik di Yogyakarta adalah cara berbicara. Tidak jarang banyak
yang merasa cara bicara Orang Papua terkesan seperti marah dan kasar. Namun ada
dilema dibalik ketidaksukaan ini. Aku membandingkan gaya berbicara orang Batak
dengan orang Papua dimana mereka memiliki gaya bicara yang sangat mirip. Gaya
bicaranya keras, berlogat dan kasar. Tapi, selama ini jarang sekali melihat orang-orang
terganggu dengan gaya bicara orang batak. Justru sebaliknya, mereka malah
memaklumi gaya bicara tersebut. Lalu mengapa ketika Orang Papua yang memiliki
gaya bicara yang eksentrik malah dianggap seperti pemarah dan tidak sopan?


Ada hal yang menarik ketika membicarakan perbedaan jawa dan papua, ibaratnya di Jawa “Dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung”sangatlah diterapkan, tapi hal tersebut tidak berlaku di tanah papua. Dimana pada akhirnya masyakat papua lah yang harus beradaptasi dengan transmigran dan gaya hidup mereka. “Dimana-mana Jawa semua, saya sampai berpikir kalau Indonesia itu jawa saja,” ujar Fani.
Dibalik semua penolakan,
diskriminasi dan stigmatisasi yang Fani terima sebagai orang Papua, hal
tersebut tidak mengubah rasa bangga terhadap identitas dirinya. “Saya bangga jadi orang Papua. Identitas
saya yang unik membuat saya berbeda dari orang lain. Saya bersekolah di
Yogyakarta sebagai representasi dari Papua, tentu saya akan berusaha menjadi
contoh yang baik dan membanggakan Papua,”ucap Fani.
Fani juga tetap merasakan
kenyamanan untuk tinggal dan belajar di Yogyakarta. Ia merasa bahwa banyak
nilai kebudayaan Jawa yang dapat ia implementasikan kedalam kehidupannya. Kesungguhan
hati dan sikap masyarakat Yogyakarta yang telaten dalam mengerjakan segala
sesuatu menginspirasi Fani untuk berbuat demikian. Walaupun Fani tinggal di
Jawa, Fani masih mempertahankan nilai budaya Papua yang ia miliki. Salah satu
nilai kebudayaan Papua yang Fani banggakan adalah solidaritas antara Orang
Papua. Terutama di tanah perantauan, Fani merasa solidaritas antar Orang Papua
di Yogyakarta sangatlah tinggi.
Fani bermimpi setelah
menyelesaikan studi Bioteknologi di UKDW, ia akan kembali ke Wamena untuk
memberdayakan pengolahan obat tradisional Papua. Identitas Fani sebagai orang
Papua tentu tidak dapat diubah, tapi akankah lebih baik apabila kita menghargai
satu sama lain tanpa melihat perbedaan kulit, rambut dan budaya? “Kita semua manusia yang sama dan kita
diciptakan sama,” ucap Fani. Mungkin seharusnya kitalah yang harus banyak
belajar tentang menghargai perbedaan dari Fani dan orang Papua lainnya.
Text and Photo by Smita Tanaya
Stay Awesome, Be Riot!
🔥🔥🔥💯💯💯
ReplyDelete