Sexual Harassment: Diam atau Melawan?


Kemarin aku dan temanku Eliesta Handitya berdiskusi tentang sexual harassment dan kompleksitas dari hal tersebut. Kami memutuskan untuk membuat poll di Instagram masing-masing. Pertanyaan yang kami lontarkan adalah "What is your reaction when you're sexually harassed? (Cat called, groped, slut shamed, etc.)" Aku dan Liesta meminta teman-teman untuk memilih jawaban sejujur-jujurnya  terkait hal tersebut. Hasilnya sangat menarik melihat mayoritas dari kalian (dari Instagramku) yaitu 46 orang, memiliki reaksi untuk melawan ketika mengalami sexual harassment. Sementara yang memilih diam hanya 21 orang. Beberapa dari kalian ada yang bercerita langsung ke aku kalau kalian berani untuk menegur sexual harassment yang berbentuk cat call. Kalian ada yang berani untuk melotot, membalas, menegur, dll ketika cat calling terjadi. Ada juga yang bercerita bahwa ia memiliki refleks untuk menendang genitalia pelaku saat dilecehkan. Tapi ada juga yang yang menyampaikan opininya bahwa Ia merasa beresiko ketika ia membalas cat call di jalan. Lalu, ada juga yang beropini bahwa mayoritas yang memilih "melawan" pasti belum pernah merasakan sexual harassment, karena ketika Ia mengalami pelecehan seksual, Ia merasa susah untuk melawan pelecehan tersebut. 

        Aku pribadi setelah merefleksikan pertanyaan itu, aku pilih diam sebagai reaksi pertamaku. Aku mengerti bahwa banyak sekali intepretasi dari sexual harassment, dan pelecehan tersebut juga memiliki bentuk baik verbal atau physical. Hal tersebut kemungkinan besar mempengaruhi bagaimana teman-teman memilih untuk bertindak. Aku juga sangat salut kepada teman-teman yang berani melawan pelecehan tersebut. Tapi aku juga mau mengingatkan, bahwa untuk beberapa orang melawan pelecehan seksual tidaklah semudah itu, contohnya aku sendiri. Secara teoritis aku tau aku harus melawan saat aku dilecehkan, and this applies to any kind of harassment. Apalagi aku dari kecil sudah diajarkan oleh orangtuaku pengertian bahwa tubuhku adalah hal yang privat dan sacred, which means no one can touch my body besides myself. Tapi di dunia nyata, ketika aku mengalami pelecehan, aku tidak berani melawan. Reaksi pertamaku adalah diam. Tubuhku beku dari ujung kaki sampai kepala, lalu aku hanya bisa menangis. Aku sering sekali menyalahkan diriku sendiri setelah pelecehan itu terjadi. “Kenapa aku tidak melawan dan marah saat itu juga?” itu pertanyaan yang aku ulang-ulang setelah pelecehan terjadi.

Aku berefleksi dan mengingat kembali ketika aku dilecehkan temanku sendiri saat kelas satu SMA. Saat itu aku sedang Jambore, acara wajib sekolahku untuk melatih leadership dengan programnya berkegiatan di alam. Aku ingat saat itu aku sedang membangun tenda. Ketika aku membungkuk, kaosku melorot dan memperlihatkan sekilas bagian dari payudaraku. Sialnya, beberapa teman laki-laki dikelompokku melihat kejadian tersebut. Coba tebak apa yang mereka lakukan setelah itu? Mereka bercanda tentang payudaraku di depanku. Mereka menertawakan dan menjadikan payudaraku sebagai bahan bercanda. “Eh liat ga tadi? Gede banget woi!” dan “Ih lo ga liat? Gue liat woi hahahahaha!” Mereka berbicara tentang hal itu didepan aku, seakan-akan aku tidak mengerti tentang apa yang mereka bicarakan. Mereka benar-benar tidak berpikir dan peduli tentang apa yang aku rasakan. Aku ingat aku hanya bisa menangis karena aku malu, bayangkan seluruh teman laki-laki di kelompokku yang akan beraktifitas denganku selama tiga hari, membicarakan aku seakan-akan aku objek. Aku benar-benar merasa powerless, karena aku tidak berani untuk marah secara langsung saat mereka berbicara tentang itu. Aku merasa lebih buruk lagi, ketika akhirnya aku  menangis di depan mereka. Tangisan akulah yang membuat mereka sadar, kalau apa yang mereka lakukan salah. Tapi tetap saja, mereka tidak mempunyai keberanian untuk minta maaf denganku. Mereka hanya diam dan tidak lagi membicarakanku, as if like there's nothing wrong happened. Sekarang aku marah dengan diriku sendiri, kenapa aku tidak menegur mereka secara langsung?

Lalu, ketika payudaraku diremas oleh stranger dan aku memutuskan untuk bercerita ke beberapa temanku, reaksi mereka membuatku sangat kecewa. “Kenapa kamu tidak melawan?” Percayalah, dengan segala kekuatan dan keinginanku, kalau aku bisa balik ke saat itu, aku PASTI akan melawan. Tapi kenyataannya, aku tidak bisa melawan. Aku kaget dan reaksi tubuhku membeku. Badanku terasa dingin, dan ketika pelakunya pergi yang aku rasakan dari ujung kaki sampai kepala adalah tubuhku panas karena marah, kaget, sedih, tidak terima, dll. Ketika aku di cat call oleh strangers di jalan, aku juga tidak berani melawan. Kenapa? Aku takut sekali dengan resiko mereka akan berbuat yang lebih buruk ketika aku melawan. 

Disini aku ingin mengingatkan bahwa ketika kamu mengalami sexual harassment, tidak segampang itu untuk melawan. Untuk berbicara tentang yang aku alami saja susah sekali. Maka dari itu, untuk teman-teman yang berani melawan, I salute you! Tetap melawan dan jangan diam saat dilecehkan. Tapi aku juga mengerti untuk teman-teman yang diam. Aku mengerti sexual harassment itu sangat kompleks, dan kita punya mekanisme yang tak terduga ketika itu terjadi. Aku tetap akan mendorong teman-teman yang diam untuk melawan apabila ada diposisi itu lagi. Aku juga saat ini sedang melatih refleksku agar aku bisa melawan.

      Ada satu hal yang sangat penting dan aku ingin ingatkan ke teman-teman, tolong jangan menganggap enteng pelecehan seksual. Jangan sampai kalian menggampangkan hal itu! Jangan pernah meremehkan ketika teman kalian ada yang bercerita tentang pelecehan seksual yang mereka alami, dengan kata-kata "Kamu kok ngga lawan?" atau "Harusnya kamu tendang!"Apa yang dialami tentunya sangat mengaggetkan, dan terkadang tubuh diri sendiri tidak bereaksi dengan apa yang sudah kita pelajari. Aku ingin mengingatkan, untuk mengerti kenapa beberapa korban pelecehan seksual memilih diam, kamu tidak perlu mengalami apa yang kami alami kan? Aku tidak mau kalian harus mengalami sexual harassment dulu untuk mengerti apa yang korban pelecehan seksual rasakan. Dengarkan dan mengerti, that's more than enough. 




Stay awesome, Be riot!          
   Love ,                         
Smita Tanaya                  

Comments